Abstract
Kemampuan memilih adalah ekspresi langsung dari kebebasan berkehendak. Namun, sebagai makhluk sosial yang bermartabat, secara teoritis manusia menerapkan banyak pembatasan perilaku pada dirinya untuk melindungi anak-anak dan mempertahankan lingkungan yang stabil agar dapat hidup bersama. Pembatasan ini diperkuat dengan hukum atau norma sosial yang dianut. Sebagai contoh, pembunuhan, pembakaran, dan perampokan termasuk kejahatan dengan konsekuensi hukuman yang berat secara hukum, sedangkan bentuk yang lebih ringan seperti kebohongan, kekerasan verbal, dan tidak menghargai/menghormati tidak dianggap penting secara kolektif. Singkatnya, banyak perilaku yang secara teknis mungkin dilakukan namun tidak diterima secara sosial dalam berbagai tingkatan.
Pada aspek ini, bunuh diri ada di area abu-abu. Kebanyakan negara di dunia tidak mencegah tindakan bunuh diri pada tingkat hukum. Bagaimanapun, bunuh diri sangat tidak dianggap dan dicegah secara aktif di hampir semua masyarakat. Persepsi kolektif terhadap bunuh diri di berbagai budaya relatif konsisten. Sebagai contoh, semua agama besar di dunia telah mengutuk bunuh diri melalui ajarannya [1]. Namun niatan bunuh diri juga sangat jelas individualis, dan perilaku terkait hal itu tergantung pada individu untuk memutuskan [2]. Oleh karena itu, salah satu masalah terbesar terkait euthanasia adalah aspek kebebasan memilih, di samping implikasi etik, komplikasi hukum, dan risiko eksploitasi.