Abstract
Di masyarakat manapun, bunuh diri selalu merupakan sebuah tragedi. Meskipun ada masalah duka dan berkabung yang ditimbulkan, tragedi ini berkembang pesat di seluruh dunia. The Global Burden of Disease, sebuah penelitian global di tahun 2017 terhadap 282 penyebab kematian di 1.995 negara dan wilayah, menemukan bahwa bunuh diri merupakan penyebab kematian tertinggi pada peringkat ke-15. Diperkirakan hampir 800.000 orang meninggal dunia akibat bunuh diri setiap tahunnya, atau sekitar satu orang setiap 40 detik [1].
Banyaknya jumlah kematian akibat bunuh diri telah mendorong para dokter kesehatan jiwa dan peneliti untuk menganggap kecenderungan bunuh diri sebagai penyakit. Pada tahun 2013, sebuah langkah besar telah diambil oleh tim profesional yang ada di balik edisi kelima Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-5) [2,3]. Mereka menyarankan Suicide Behavior Disorder (SBD) atau gangguan perilaku bunuh diri sebagai sebuah “kondisi untuk studi lebih lanjut”, yang berarti bahwa SBD dapat dicantumkan sebagai suatu gangguan yang berbeda dan menerima rekomendasi pengobatan pada edisi berikutnya. Pakar berpengalaman mengembangkan lima kriteria diagnosis SBD pada Satgas dan Kelompok Kerja DSM-5 setelah melakukan tinjauan menyeluruh terhadap literatur penelitian serta diskusi dengan para ahli di bidangnya dan masyarakat umum [4],