En el campo de la estética y la teoría del arte, la imposición de categorías, conceptos y valores por parte de las culturas colonizadoras y hegemónicas (que hoy han sido introyectados como parte de la conciencia valorativa de las culturas dominadas) ha condenado lo generado por el otro (la periferia), a no ser más que algo premoderno, bárbaro y, por tanto, concebido como algo que debe ser trascendido o superado. Tal es el caso de la producción artística de los pueblos (...) colonizados: la llamada artesanía, expresión artística históricamente asociada a una alteridad indígena-popular que suele ser analizada y valorada bajo los estándares axiológicos que sostiene dicho sistema occidental de valores. (shrink)

To move beyond vague platitudes about the importance of context in legal reasoning or natural language understanding, one must take account of ideas from artificial intelligence on how to represent context formally. Work on topics like prior probabilities, the theory-ladenness of observation, encyclopedic knowledge for disambiguation in language translation and pathology test diagnosis has produced a body of knowledge on how to represent context in artificial intelligence applications.

The concept of stage presence in performing arts is generally understood as the ability of the skilled performer to capture the attention of the audience, a prerogative of the talented actor, who occupies a position of power in respect to the audience. This work challenges the classic model of stage presence as an intrinsic quality of the performer and proposes instead a cognitive ecological ethnographic framework which considers the role played by various social actors — the public and the performers, (...) embedded in specific historical, cultural, and social environments — in shaping the performance event. Through an ethnographic and phenomenological analysis of the concept of stage presence in different performative contexts, this work proposes a cognitive ecological approach to the study of stage presence, suggesting possible methodological directions. (shrink)

The current paradigm of Artificial Intelligence emerged as the result of a series of cultural innovations, some technical and some social. Among them are apparently small design decisions, that led to a subtle reframing of the field’s original goals, and are by now accepted as standard. They correspond to technical shortcuts, aimed at bypassing problems that were otherwise too complicated or too expensive to solve, while still delivering a viable version of AI. Far from being a series of separate problems, (...) recent cases of unexpected effects of AI are the consequences of those very choices that enabled the field to succeed, and this is why it will be difficult to solve them. In this chapter we review three of these choices, investigating their connection to some of today’s challenges in AI, including those relative to bias, value alignment, privacy and explainability. We introduce the notion of “ethical debt” to describe the necessity to undertake expensive rework in the future in order to address ethical problems created by a technical system. (shrink)

Horwich memberikan analisis baik Wittgenstein (w) dan merupakan sarjana W terkemuka, tetapi dalam pandangan saya, mereka semua jatuh pendek dari apresiasi penuh, seperti yang saya jelaskan di length dalam tinjauan ini dan banyak lainnya. Jika seseorang tidak mengerti W (dan sebaiknya Searle juga) maka saya tidak melihat bagaimana seseorang bisa memiliki lebih dari pemahaman yang dangkal filsafat dan urutan yang lebih tinggi berpikir dan dengan demikian dari semua perilaku kompleks (psikologi, Sosiologi, antropologi, sejarah, sastra, masyarakat). Singkatnya, W menunjukkan bahwa ketika (...) Anda telah menunjukkan bagaimana kalimat digunakan dalam konteks kepentingan, tidak ada lagi yang dapat dikatakan. Saya akan mulai dengan beberapa kutipan penting dan kemudian memberikan apa yang saya pikir adalah pertimbangan minimum yang diperlukan untuk memahami Wittgenstein, filsafat dan perilaku manusia. -/- Pertama mungkin dicatat bahwa menempatkan "meta" di depan kata apapun harus tersangka. W berkomentar misalnya, bahwa metamathematics adalah matematika seperti yang lain. Gagasan bahwa kita dapat melangkah keluar filsafat (yaitu, psikologi deskriptif pemikiran yang lebih tinggi) adalah dirinya sendiri kebingungan yang mendalam. Iritasi lain di sini (dan di seluruh akademik menulis selama 4 dekade terakhir) adalah bahasa yang konstan sebaliknya seksisme dari "dia" dan "miliknya" dan "dia" atau "dia/dia" dll, di mana "mereka" dan "mereka" dan "mereka" akan melakukan dengan baik. Demikian pula, penggunaan kata Perancis ' repertoar ' di mana bahasa Inggris ' Repertory ' akan cukup baik. Kekurangan utama adalah kegagalan lengkap (meskipun sangat umum) untuk mempekerjakan apa yang saya lihat sebagai sangat kuat dan intuitif dua sistem pandangan HOT dan Searle's kerangka yang telah saya diuraikan di atas. Hal ini terutama pedih dalam bab tentang makna p111 et seq. (terutama di catatan kaki 2-7), di mana kita berenang di air yang sangat berlumpur tanpa kerangka benar otomatis hanya S1, disposisional proposisional S2, cos dll Satu juga bisa mendapatkan pandangan yang lebih baik dari dalam dan luar dengan membaca misalnya, Johnston atau Budd (Lihat ulasan saya). Horwich namun membuat banyak komentar tajam. Saya terutama menyukai ringkasan nya dari impor w's anti-teoritis sikap pada P65. Dia perlu memberikan penekanan lebih untuk ' pada kepastian ', baru-baru ini subjek banyak usaha oleh Daniele Moyal-Sharrock, Coliva dan lain-lain dan diringkas dalam artikel baru-baru ini. -/- Horwich adalah tingkat pertama dan pekerjaannya layak usaha. Satu harapan bahwa ia (dan semua orang) akan mempelajari Searle dan beberapa psikologi modern serta Hutto, baca, Hutchinson, Stern, Moyal-Sharrock, berjalan, hacker dan Baker dll untuk mencapai pandangan modern yang luas perilaku. Sebagian besar kertas mereka berada di academia dot edu dan philpapers dot org, tetapi untuk PMS Hacker. -/- Dia memberikan salah satu ringkasan yang paling indah di mana pemahaman Wittgenstein meninggalkan kita yang pernah saya lihat. -/- "Tidak boleh ada upaya untuk menjelaskan linguistik/kegiatan konseptual kita (PI 126) seperti Frege pengurangan aritmatika untuk logika; tidak ada upaya untuk memberikan fondasi epistemologis (PI 124) seperti dalam arti rekening berdasarkan pengetahuan apriori; tidak ada upaya untuk mencirikan bentuk ideal itu (PI 130) seperti dalam pengertian Logics; tidak ada usaha untuk mereformasi (PI 124, 132) seperti teori kesalahan Mackie atau intuisi Dummett; tidak ada upaya untuk merampingkan itu (PI 133) seperti dalam laporan quine keberadaan; tidak ada usaha untuk membuatnya lebih konsisten (PI 132) seperti dalam tanggapan Tarski terhadap paradoks pembohong; dan tidak ada upaya untuk membuatnya lebih lengkap (PI 133) seperti dalam penyelesaian pertanyaan identitas pribadi untuk skenario aneh ' teleportasi '. -/- Akhirnya, izinkan saya menyarankan bahwa dengan perspektif saya telah mendorong di sini, W adalah di pusat filsafat dan psikologi kontemporer dan tidak jelas, sulit atau tidak relevan, tapi gemilang, mendalam dan jernih dan bahwa untuk merindukannya adalah untuk melewatkan salah satu petualangan intelektual terbesar mungkin. -/- Mereka yang ingin komprehensif up to date kerangka perilaku manusia dari dua systems tampilan modern dapat berkonsultasi buku saya 'struktur Logis filsafat, psikologi, mind dan bahasa dalam Ludwig wittgenstein dan John Searle ' 2nd Ed (2019). Mereka yang tertarik pada tulisan saya lebih mungkin melihat 'berbicara monyet--filsafat, psikologi, ilmu, agama dan politik di planet yang ditakdirkan--artikel dan review 2006-2019 3rd ed (2019) dan bunuh diri utopian delusi di 21st Century 4th Ed (2019) . (shrink)

According to Arti Dhand, it can be argued that all Indian ethics have been primarily virtue ethics. Many have indeed jumped on the virtue bandwagon, providing prima facie interpretations of Hindu, Jain, and Buddhist canons in virtue terms. Others have expressed firm skepticism, claiming that virtues are not proven to be grounded in the nature of things and that, ultimately, the appeal to virtue might just well be a mere façon de parler. In this paper, we aim to advance (...) the discussion of Indian virtue ethics. Our intent is not to provide a catch-all interpretation of the different Indian schools. Our goal is, more modestly, to offer a theory of virtues in Indian philosophies, as a framework for theorists and interpreters who see these diverse traditions as amenable to systematic virtue analysis. Our theory grounds virtues in the reality of genuine moral dispositions and in a system of beliefs where morality is understood as transformative in nature. (shrink)

Brains, unlike artificial neural nets, use symbols to summarise and reason about perceptual input. But unlike symbolic AI, they “ground” the symbols in the data: the symbols have meaning in terms of data, not just meaning imposed by the outside user. If neural nets could be made to grow their own symbols in the way that brains do, there would be a good prospect of combining neural networks and symbolic AI, in such a way as to combine the good features (...) of each. The article argues the cluster analysis provides algorithms to perform the task, and that any solution to the task must be a form of cluster analysis. (shrink)

In this paper we identify and characterize an analysis of two problematic aspects affecting the representational level of cognitive architectures (CAs), namely: the limited size and the homogeneous typology of the encoded and processed knowledge. We argue that such aspects may constitute not only a technological problem that, in our opinion, should be addressed in order to build arti cial agents able to exhibit intelligent behaviours in general scenarios, but also an epistemological one, since they limit the plausibility of (...) the comparison of the CAs' knowledge representation and processing mechanisms with those executed by humans in their everyday activities. In the fi nal part of the paper further directions of research will be explored, trying to address current limitations and future challenges. (shrink)

This paper critically assesses the possibility of moral enhancement with ambient intelligence technologies and artificial intelligence presented in Savulescu and Maslen (2015). The main problem with their proposal is that it is not robust enough to play a normative role in users’ behavior. A more promising approach, and the one presented in the paper, relies on an artifi-cial moral reasoning engine, which is designed to present its users with moral arguments grounded in first-order normative theories, such as Kantianism or utilitarianism, (...) that reason-responsive people can be persuaded by. This proposal can play a normative role and it is also a more promising avenue towards moral enhancement. It is more promising because such a system can be designed to take advantage of the sometimes undue trust that people put in automated technologies. We could therefore expect a well-designed moral reasoner system to be able to persuade people that may not be persuaded by similar arguments from other people. So, all things considered, there is hope in artificial intelli-gence for moral enhancement, but not in artificial intelligence that relies solely on ambient intelligence technologies. (shrink)

We present a hypothetical process of mind coalescence, where arti cial connections are created between two or more brains. This might simply allow for an improved form of communication. At the other extreme, it might merge the minds into one in a process that can be thought of as a reverse split-brain operation. We propose that one way mind coalescence might happen is via an exocortex, a prosthetic extension of the biological brain which integrates with the brain as seamlessly (...) as parts of the biological brain integrate with each other. An exocortex may also prove to be the easiest route for mind uploading, as a person's personality gradually moves away from the aging biological brain and onto the exocortex. Memories might also be copied and shared even without minds being permanently merged. Over time, the borders of personal identity may become loose or even unnecessary. (shrink)

Default logic has been a very active research topic in artificial intelligence since the early 1980s, but has not received as much attention in the philosophical literature thus far. This paper shows one way in which the technical tools of artificial intelligence can be applied in contemporary epistemology by modeling a paradigmatic case of deep disagreement using default logic. In §1 model-building viewed as a kind of philosophical progress is briefly motivated, while §2 introduces the case of deep disagreement we (...) aim to model. On the heels of this, §3 defines our formal framework, viz., a refined Horty-style default logic. §4 then uses the framework to model deep disagreement, and finally §5 provides a critical discussion of the result. (shrink)

Al centro della riflessione della filosofia e delle scienze sociali, il concetto di cultura ha assunto uno spettro di significati difficilmente riassumibile in una definizione che non sia multidimensionale. Numerose sono le province di significato in cui tale concetto ricorre riflessivamente portando in primo piano ordini di realtà e punti di vista analitici differenziati. Oltre all’identità multiforme le analisi della cultura presentano sul piano storico un contesto di genesi prettamente moderno la cui rilevanza è crescente. Accanto alla coltivazione dello “spirito”, (...) come erudizione e raffinatezza personale, saranno le scienze storiche e l’antropologia, tra l’inizio e la fine dell’‘800, a dischiudere la nuova conoscenza verso quella “tela di ragno” di rappresentazioni, costumi e disposizioni di cui gli esseri umani sono, al contempo, artefici e prodotto. Il presente volume sistematizza le complesse riflessioni di Jürgen Habermas sulle forme di sapere “implicite” ed “esplicite” alla base dei processi di comprensione e di apprendimento: il linguaggio simbolico e grammaticale, il senso comune, le immagini del mondo (la mitologia, le religioni e la metafisica), le sfere di valore specialistiche (le scienze e le tecniche, le morali e il diritto, l’estetica e le arti), i loro prodotti e le procedure, ma anche le competenze cognitive, sociali ed espressive necessarie per “maneggiare” tali argomenti. Si tratta di una ricostruzione che, all’interno di un “programma di ricerca” che Habermas recupera dai classici del pensiero sociologico, lascia emergere la riproduzione culturale come una sfera analiticamente distinta della società ma interdipendente con i processi di integrazione sociale e di socializzazione. (shrink)

In his famous 1982 paper, Allen Newell [22, 23] introduced the notion of knowledge level to indicate a level of analysis, and prediction, of the rational behavior of a cognitive arti cial agent. This analysis concerns the investigation about the availability of the agent knowledge, in order to pursue its own goals, and is based on the so-called Rationality Principle (an assumption according to which "an agent will use the knowledge it has of its environment to achieve its goals" (...) [22, p. 17]. By using the Newell's own words: "To treat a system at the knowledge level is to treat it as having some knowledge, some goals, and believing it will do whatever is within its power to attain its goals, in so far as its knowledge indicates" [22, p. 13]. In the last decades, the importance of the knowledge level has been historically and system- atically downsized by the research area in cognitive architectures (CAs), whose interests have been mainly focused on the analysis and the development of mechanisms and the processes governing human and (arti cial) cognition. The knowledge level in CAs, however, represents a crucial level of analysis for the development of such arti cial general systems and therefore deserves greater research attention [17]. In the following, we will discuss areas of broad agree- ment and outline the main problematic aspects that should be faced within a Common Model of Cognition [12]. Such aspects, departing from an analysis at the knowledge level, also clearly impact both lower (e.g. representational) and higher (e.g. social) levels. (shrink)

We discuss a research project that develops and applies algorithms for computational contextual vocabulary acquisition (CVA): learning the meaning of unknown words from context. We try to unify a disparate literature on the topic of CVA from psychology, first- and secondlanguage acquisition, and reading science, in order to help develop these algorithms: We use the knowledge gained from the computational CVA system to build an educational curriculum for enhancing students’ abilities to use CVA strategies in their reading of science texts (...) at the middle-school and college undergraduate levels. The knowledge gained from case studies of students using our CVA techniques feeds back into further development of our computational theory. Keywords: artificial intelligence, knowledge representation, reading, reasoning, science education, vocabulary acquisition. (shrink)

This project continues our interdisciplinary research into computational and cognitive aspects of narrative comprehension. Our ultimate goal is the development of a computational theory of how humans understand narrative texts. The theory will be informed by joint research from the viewpoints of linguistics, cognitive psychology, the study of language acquisition, literary theory, geography, philosophy, and artificial intelligence. The linguists, literary theorists, and geographers in our group are developing theories of narrative language and spatial understanding that are being tested by the (...) cognitive psychologists and language researchers in our group, and a computational model of a reader of narrative text is being developed by the AI researchers, based in part on these theories and results and in part on research on knowledge representation and reasoning. This proposal describes the knowledge-representation and natural-language-processing issues involved in the computational implementation of the theory; discusses a contrast between communicative and narrative uses of language and of the relation of the narrative text to the story world it describes; investigates linguistic, literary, and hermeneutic dimensions of our research; presents a computational investigation of subjective sentences and reference in narrative; studies children’s acquisition of the ability to take third-person perspective in their own storytelling; describes the psychological validation of various linguistic devices; and examines how readers develop an understanding of the geographical space of a story. This report is a longer version of a project description submitted to NSF. This document, produced in May 2007, is a L ATEX version of Technical Report 89-07 (Buffalo: SUNY Buffalo Department of Computer Science, August 1989), with slightly.. (shrink)

Listening and polyphony lead us directly to reflection on the musical form of the fugue. Starting with M. Heidegger’s considerations about the juncture of beyng, we will phe-nomenologically ask about the essence of the fugue, and the musical work put under analysis will be The Art of Fugue by J.S. Bach. The article aims to show the convergence between Heidegger’s philosophy and the essence of the musical form of fugue as an artis-tic mode of the essential occurrence of beyng as (...) an event. (shrink)

La propuesta metodológica de la «Analytical Jurisprudence» o escuela analítica del Derecho encabezada por H. L. A. Hart (1907-1992) abrió un nuevo espacio de reflexión en el ámbito jurídico anglosajón al emplear el análisis del significado de las palabras como medio para dilucidar la estructura del pensamiento jurídico. Hart, miembro del grupo de Oxford, aplicó una nueva sensibilidad por las distinciones lógicas y lingüísticas a la filosofía del derecho (PANNAM, 2008) y aportó a la discusión de los teóricos del derecho (...) de la segunda mitad del siglo XX una de las convicciones centrales que guiaron su trabajo: la de que las interrogantes más complejas de la teoría del derecho podían dilucidarse esclareciendo el modo en que los términos jurídicos se utilizan en la práctica (ETCHEVERRY, 2009). -/- El objetivo de este artículo es exponer cómo esta propuesta metodológica ha marcado la discusión en las actuales teorías analíticas anglosajonas de la interpretación jurídica, más específicamente, entre las denominadas teorías convencionalistas y teorías realistas del significado. Aspiramos a mostrar cómo una teoría realista del lenguaje jurídico —que incluya una teoría sobre el significado de los términos y enunciados jurídicos— sigue siendo una tarea pendiente que podría ser decisivamente enriquecida mediante la recuperación del pensamiento analógico desarrollado por Mauricio Beuchot. (shrink)

La atención relativamente escasa que los estudiosos del filósofo y científico norteamericano Charles S. Peirce (1839-1914) han prestado a lo largo de los años a la dimensión religiosa de su pensamiento siempre me ha resultado un tanto sorprendente. Desde mis primeras lecturas de Peirce me impresionó profundamente la ubicuidad de las referencias religiosas en sus escritos, especialmente en los años de madurez. En mis encuentros con reconocidos estudiosos peirceanos solía preguntarles acerca de Dios y la religión en Peirce, y la (...) respuesta que recibí casi siempre era que efectivamente había una gran cantidad de cuestiones religiosas en su obra, pero que no estaban interesados en ello. Dentro del espacio disponible, mi exposición está organizada en cuatro secciones: 1) Una presentación del artículo de 1908; 2) La noción de realidad; 3) ¿Cuál es realmente el Argumento Olvidado?, y 4) Una discusión de su alcance destacando el poder de la abducción. Citaré a algunos de los comentaristas más relevantes y aportaré un texto del propio Peirce interpretando su artículo que no he visto hasta ahora citado: se trata de la carta de Peirce del 28 de noviembre de 1908 (L 212) en la que explica a su amiga Mary Huntington el artículo publicado en el Hibbert Journal poco tiempo antes. (shrink)

Dasar yang paling penting dalam pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah adanya persamaan persepsi antara penegak atau pemimpin pendidikan tentang arti “mendidik” itu sendiri. Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa; Pendidikan ialah usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak agar dalam kodrat pribadinya serta pengaruh lingkunganannya, mereka memperoleh kemajuan lahir batin menuju ke arah adab kemanusiaan Dari definisi pendidikan tersebut terdapat dua kalimat kunci yaitu; „tumbuhnya jiwa raga anak‟ dan „ kemajuan anak lahir-batin‟. Dasar kontinuitas (...) berarti bahwa, Dengan perkembangan dan kemajuan kebudayaan, garis hidup bangsa terus menerima pengaruh nilai-nilai baru, garis kemajuan suatu bangsa ditarik terus. Kemajuan suatu bangsa ialah lanjutan dari garis hidup asalnya, yang ditarik terus dengan menerima nilai-nilai baru dari perkembangan sendiri maupun dari luar. Dasar Konsentris Dasar konsentris berarti bahwa dalam mengembangkan kebudayaan harus bersikap terbuka, namun kritis dan selektif terhadap pengaruh kebudayaan di sekitar kita. Hanya unsur-unsur yang dapat memperkaya dan mempertinggi mutu kebudayaan saja yang dapat diambil dan diterima, setelah dicerna dan disesuaikan dengan kepribadian bangsa. c. Dasar Konvergensi Dasar konvergensi mempunyai arti bahwa dalam membina karakter bangsa, bersamasama bangsa lain diusahakan terbinanya karakter dunia sebagai kebudayaan kesatuan umat sedunia (konvergen), tanpa mengorbankan kepribadian atau identitas bangsa masing-masing. Dengan demikian maka pengaruh terhadap kebudayaan yang masuk, harus bersikap terbuka, disertai sikap selektif sehingga tidak menghilangkan identitas sendiri. Kata Kunci: Filsafat, Pendidikan, Ki Hajar Dewantara. (shrink)

Intellectual historians have rarely attended to the genre of fighting manuals, but these provide a new window on long-debated questions such as the relationship between Scholasticism and Humanism. This article offers a close comparison of the first known fencing manual, the 14-th century Liber de Arte Dimicatoria (Leeds, Royal Armouries FECHT 1, previously and better known as MS I.33), and the corpus of fighting manuals which underwent a remarkable expansion during the 15th and 16th centuries. While the former clearly shows (...) its origins in a scholastic background, the latter is mainly viewed as reflecting its humanist context. To this historiographical division corresponds a linguistic one: MS I.33 is a Latin text, while the rest of the corpus is mainly written in German and Italian. However, exceptions arise, amongst which, Heinrich von Gunterrodt’s Sciomachia et Hoplomachia: sive de Veris Principiis Artis Dimicatoriae (1579), the first text which explicitly refers to I.33. This article will compare these two texts, in order to interrogate their common relation to Scholasticism, namely the traditional frame of the knowledge within the medieval and early modern universities. The intent is to show that (at least some) Renaissance fight books include references to Scholasticism and to provide a better qualification of the nature of such references. The general hypothesis is that a large part of the texts―and products of culture―of the Renaissance that have been read, until recently, exclusively in relation to a humanist intellectual background can valuably be interpreted in the context of a Scholasticism that is still vivid during the period in question. (shrink)

Table of Contents Foreword .................................................................................................... ......................................... xiv Preface .................................................................................................... .............................................. xv Acknowledgment .................................................................................................... .......................... xxiii Section 1 On the Cusp: Critical Appraisals of a Growing Dependency on Intelligent Machines Chapter 1 Algorithms versus Hive Minds and the Fate of Democracy ................................................................... 1 Rick Searle, IEET, USA Chapter 2 We Can Make Anything: Should We? .................................................................................................. 15 Chris Bateman, University of Bolton, UK Chapter 3 Grounding Machine Ethics within the Natural System ........................................................................ 30 Jared Gassen, JMG Advising, USA Nak Young Seong, Independent Scholar, South (...) Korea Section 2 From the Outside In: Intelligent Machine Technologies as a Window on Human Morality both as Evolved and as Evident in Internet Discourse, Today Chapter 4 The Emergence of Arti cial Autonomy: A View from the Foothills of a Challenging Climb ............. 51 Fernando da Costa Cardoso, Universidade Nova de Lisboa, Portugal Luís Moniz Pereira, Universidade Nova de Lisboa, Portugal Chapter 5 Semantic Analysis of Bloggers Experiences as a Knowledge Source of Average Human Morality .... 73 Rafal Rzepka, Hokkaido University, Japan Kenji Araki, Hokkaido University, Japan Section 3 From the Inside Out: The Ethics of Human Enhancement from Moral Perception to Competition in the Workplace Chapter 6 Machine Ethics Interfaces: An Ethics of Perception of Nanocognition ............................................... 97 Melanie Swan, Kingston University, UK Chapter 7 Ethical Concerns in Human Enhancement: Advantages in Corporate/Organizational Settings ......... 124 Ben Tran, Alliant International University, USA Section 4 From Far to Near and Near to Far: The Ethics of Distancing Technologies in Education and Warfare Chapter 8 Responsibility and War Machines: Toward a Forward-Looking and Functional Account ................. 152 Jai Galliott, Macquarie University, Australia Chapter 9 Ethical Responsibilities of Preserving Academicians in an Age of Mechanized Learning: Balancing the Demands of Educating at Capacity and Preserving Human Interactivity ................... 166 James E. Willis III, Indiana University, USA Viktoria Alane Strunk, Independent Scholar, USA Section 5 Wrapping Things Up, then Unwrapping Them Again: Integral Visions of Morality in a Technological World, Over Evolutionary Time, with Revolutionary Means, and with Open Questions about the Final Purpose of It All Chapter 10 Bridging Two Realms of Machine Ethics ........................................................................................... 197 Luís Moniz Pereira, Universidade Nova de Lisboa, Portugal Ari Saptawijaya, Universidade Nova de Lisboa, Portugal & Universitas Indonesia, Indonesia Chapter 11 Robots in Warfare and the Occultation of the Existential Nature of Violence ................................... 225 Rick Searle, IEET, USA Chapter 12 Self-Referential Complex Systems and Aristotle’s Four Causes ........................................................ 239 Aleksandar Malecic, University of Nis, Serbia Related References .................................................................................................... ........................ 261 Compilation of References .................................................................................................... ........... 292 About the Contributors .................................................................................................... ................ 325 Index .................................................................................................... ............................................... 329 . (shrink)

This paper explores the intersection between the extended mind thesis and transhumanism, with a particular focus on how technology may influence, alter, or enhance human cognitive abilities. The extended mind thesis posits that external elements can become integral components of cognitive processes. Drawing on this notion, the paper contends that transhumanism adopts such perspective in advocating for the possibility of cognitive enhancement. In this sense, it assesses whether technology can truly improve cognitive function or whether it might, instead, induce a (...) specific type of ignorance by diminishing cognitive phenomenology—the lived, experiential dimension of mental processes or the phenomenal aspect of cognitive consciousness. The assumption that cognitive technologies inherently enhance independent mental performance is challenged, with the argument that overreliance on technology may impair the ability to execute cognitive tasks autonomously. The analysis concludes that the integration of technological artifacts with human cognition can indeed lead to a specific form of ignorance by compromising cognitive phenomenology. It also suggests that such ignorance signals that the excessive use of technology may undermine the ability to perform cognitive tasks independently. These two conclusions invite reconsideration of the transhumanist claim that technology can improve human cognition. -/- El artículo explora la intersección entre la tesis de la mente extendida y el transhumanismo, enfocándose, específicamente, en cómo las tecnologías pueden influir, alterar o expandir nuestras capacidades y habilidades cognitivas. A través de un análisis de la tesis de la mente extendida, que propone que algunos elementos externos pueden formar parte constitutiva de nuestros procesos cognitivos, se argumenta que el transhumanismo adopta dicha tesis al tratar el asunto del mejoramiento cognitivo, y se examina si la tecnología puede realmente mejorar nuestras capacidades mentales, o si, por el contrario, podría inducir a un tipo específico de ignorancia al hacernos perder la fenomenología cognitiva, es decir, la vivencia de nuestros procesos mentales o el aspecto fenoménico de nuestra conciencia cognitiva. Se cuestiona, además, si el acoplamiento con tecnologías cognitivas disminuiría nuestra capacidad de realizar tareas mentales de forma autónoma, sugiriendo que una dependencia excesiva de la tecnología podría reducir nuestra habilidad para realizar procesos cognitivos sin ayuda de artefactos tecnológicos. Luego del análisis, el artículo concluye que, efectivamente, nuestro acoplamiento con artefactos tecnológicos puede conducirnos a un tipo específico de ignorancia al eliminar nuestra fenomenología cognitiva. También determina que dicha ignorancia es síntoma de que el uso excesivo de tecnologías puede despojarnos de nuestra habilidad de realizar tareas cognitivas sin asistencia tecnológica. Estas dos conclusiones deberían minar, o al menos replantear, las aspiraciones transhumanistas acerca del mejoramiento tecnológico de nuestra mente. (shrink)

Insertar el fenómeno dentro del discurso es posible únicamente cuando se lo arropa conceptualmente. La metáfora cumple la función retórica cuando se aleja de su fenómeno en la vida empírica y surge en la vida simbólica como forma de expresión ulterior y conceptual respecto al fenómeno mentado. Las metáforas no son literales, sino que tienen un sentido figurado. Los límites de la metáfora en torno a la tecnología, en nuestro caso, se delimitan cuando el fenómeno no permite un segundo plano (...) retórico dentro del discurso en el que la metáfora tendría lugar. En este artículo trataré de demostrar por qué una metáfora no es útil en el lenguaje de taller o en el lenguaje técnico. (shrink)

Una de las premisas centrales del modelo cognitivista de explicación de las emociones consiste en afirmar que toda emoción es un juicio, afirmación que conduce a lo que denominaré el problema de la restrictividad, es decir, al hecho de que dicho modelo parece impedirnos atribuir emociones a entidades que carecen (temporal o estructuralmente) de la capacidad de juzgar. El objetivo del artículo consistirá en relevar las estrategias a las que recurren los dos autores que han defendido el modelo cognitivista de (...) forma más radical y sostenida (Robert Solomon y Martha Nussbaum) al momento de hacer frente al problema de la restrictividad. Argumentaré, fundamentalmente, que dichas estrategias conducen al modelo cognitivista a un dilema del cual sólo puede salir al precio de perder su especificidad como modelo de explicación de las emociones. (shrink)

El propósito de este artículo es caracterizar la fuente de Sucesos en una de las ciudades más peligrosas del mundo. Para ello, se aplicará una metodología de análisis y de sistematización gramatical crítico-descriptivo de la redacción, a la luz de la gramática, de las normas ortográficas y de criterios de lingüistas clásicos, contemporáneos y de periodistas- lingüistas. Estas subcategorías pueden emplearse en otra fuente periodística de cualquier otro medio de comunicación hispanoparlante y también arrojarán un diagnóstico lingüístico sobre la redacción. (...) Aunque se recurre a la lingüística aplicada, el enfoque será periodístico y gramatical. El corpus está compuesto por 149 notas de Sucesos, de las cuales se tomaron en cuenta títulos y cuerpos de las notas. Esta investigación reflejará las implicaciones éticas de, por ejemplo, el uso de la voz pasiva y del gerundio o de la omisión de las comillas. (shrink)

Histoire et utilisation du robot Bien que la robotique soit un marché économique relativement jeune et en pleine croissance, la genèse des robots remonte à l’Antiquité. Le premier robot à être déployé sur des lignes d’assemblage est Unimate, utilisé dès 1961 par General Motors. La robotique, en se di usant dans tous les pans de notre économie, va impacter les business modèles de nombreuses industries comme l’automobile et l’aéronautique mais aussi la construction ou l’agriculture. Aujourd’hui les robots industriels et de (...) service servent à de multiples tâches allant de la logistique à l’usinage en passant par la fonderie. La robotique constitue aussi et surtout un enjeu sociétal contribuant à relever les dé s de la mobilité, de la santé, de l’autonomie, du vieillissement et de l’éducation. Absence de dé nition et de régime juridique spéci que au robot En France, la notion de robot ne fait pas l’objet d’une dé nition juridique qui lui est propre. Les dé nitions relatives à l’environnement robotique peuvent tout de même se retrouver dans la norme ISO 8373:2012. Bien que les robots intéressent les juristes à plusieurs titres, le législateur n’a, à ce jour, pas adopté de régime juridique spéci quement applicable aux robots. Il convient donc de rechercher dans le droit positif le corpus de textes applicables aux robots. Ce corpus pourra alors recevoir l’appellation de « droit de la robotique ». Garanties Le vendeur d’un robot industriel et de service doit se conformer aux garanties légales que sont la garantie des vices cachés et la garantie d’éviction. Il doit également respecter les éventuelles garanties qui ont pu être convenues contractuellement Clauses contractuelles Le fournisseur d’un robot industriel et de service doit être particulièrement attentif aux clauses contractuelles rela- tives à la garantie, à la propriété intellectuelle, à la con dentialité, à la responsabilité et à la conformité aux directives techniques. Les spéci cités liées au robot, telles que les éléments relatifs à l’intelligence arti cielle, pourront être intégrées dans des annexes spéci ques. Intelligence arti cielle L’algorithme d’intelligence arti cielle dont est équipé un robot industriel et de service peut, dans certaines condi- tions, béné cier d’une protection grâce au droit d’auteur, à la protection du savoir-faire et au brevet. Aucun régime spécial n’existe à ce jour protégeant les œuvres conçues par le robot intelligent. Mobilité Les véhicules et drones autonomes utilisés au sein même de l’usine sont considérés comme des machines. Etant don- né les risques existants, il convient de xer de règles internes d’utilisation. Les véhicules autonomes ne peuvent à ce jour quitter l’espace privé. En revanche, les drones peuvent circuler dans l’espace aérien en respectant strictement le cadre réglementaire. Douanes Le taux de perception des droits de douanes d’un robot industriel et de service est conditionné par la connaissance de l’origine, préférentielle ou non préférentielle, du robot qui est déterminée par la position tarifaire de ce dernier. Le robot industriel et de service entre dans le chapitre 84, qui concerne notamment les machines, de la nomenclature du système harmonisé établi par l’Organisation mondiale de douanes. Sécurité En application de la « directive machines », le robot peut recevoir la quali cation de machine ou de quasi-machine. En vertu de cette directive, mais également au titre du Code du travail, de nombreuses obligations en matière de santé et de sécurité doivent être respectées pour la commercialisation et l’utilisation des robots. Conformité Le Code du travail, en transposant la « directive machines », a prévu de nombreuses obligations et procédures, appli- cables aux robots industriels et de service, permettant ainsi de s’assurer que ces derniers respectent les exigences de conformité nécessaires en matière de santé et de sécurité. Maintenance Dans le cadre de la maintenance, le fournisseur d’un robot industriel et de service est soumis à plusieurs obligations législatives aux titres de la disponibilité des pièces détachées et de la location. Les dispositions contractuelles de- vront prendre en considération les spéci cités propres au robot et ne pas ignorer la maintenance prédictive. Quali cation juridique Dans le cadre de la conception, de la fabrication et de l’utilisation du robot, il convient de porter une attention par- ticulière à quatre textes spéciaux qui peuvent être applicables aux robots industriels et de service : le règlement 428/2009 sur les biens à double usage, la directive 2014/35/UE applicable au matériel électrique basse tension, la directive 2014/53/UE applicable aux équipements radioélectriques et la directive 2014/30/UE sur la compatibilité électromagnétique. Responsabilité Bien que les régimes de responsabilité, civile et pénale, ne sont pas adaptés aux robots autonomes, la responsabilité civile de droit commun, la responsabilité du fait des choses, la responsabilité du fait des produits défectueux et la responsabilité des commettants du fait de leurs préposés peuvent s’appliquer en cas de fait dommageable causé par le robot tout comme la responsabilité pénale en cas d’infraction commise dans le cadre de l’utilisation du robot. Assurance La police d’assurance relative aux robots doit permettre de protéger le robot contre les risques auxquels ils sont confrontés mais également d’assurer la responsabilité pour les dommages qu’ils pourraient causer, on peut alors parler de « dommages robotiques ». Données et bases de données Les bases de données contenues dans un robot industriel et de service doivent respecter les droits dont dispose l’auteur sur la structure de la base de données et/ou les droits du producteur des bases de données dans lesquelles gurent les données utilisées. La réglementation Informatique et libertés est également applicable au robot lorsque celui-ci collecte et/ou traite des données personnelles. Droit de la robotique dans le monde Aucun Etat ne s’est à ce jour doté d’un régime juridique détaillé et spéci que à la robotique. Des dispositions juri- diques relatives aux robots peuvent tout de même se retrouver de façon éparse dans certains droits étrangers concer- nant notamment les drones et les véhicules terrestres autonomes. (shrink)

Krishna Del Toso offre una penetrante analisi della cultura indiana sotto la particolare prospettiva della pratica marziale e della dimensione agonistica, riconducendole alla grande matrice di senso che è l’azione sacrificale sullo sfondo del grande testo classico Ṛgveda.

What kind of entities are works of art from an ontological point of view? This question has become canonical in the framework of analytic philosophy. One way of answering the puzzle seemed to be conclusive. It is the hypothesis that all, or the majority of artworks can be identified with types embedded into tokens. To begin with, I will survey how the type-token distinction transitioned from semiotics to ontology. Secondly, I will consider how some contemporary art forms contributed to questioning (...) this approach to the ontology of artworks. Lastly, I will suggest how the nature of types and tokens should be reassessed in order to properly describe artworks in their historical and socially construed nature. (shrink)

Setelah setengah abad dalam pelupaan, sifat kesadaran sekarang topik terpanas dalam ilmu perilaku dan filsafat. Dimulai dengan karya perintis Ludwig Wittgenstein di tahun 1930-an (Blue dan Brown Books) dan dari 50-an sampai sekarang oleh penerus Logis John Searle, saya telah membuat tabel berikut sebagai heuristic untuk memajukan studi ini. Baris menunjukkan berbagai aspek atau cara belajar dan kolom menunjukkan proses yang tidak disengaja dan perilaku sukarela yang terdiri dari dua sistem (dual proses) dari struktur Logis kesadaran (LSC), yang juga dapat (...) dianggap sebagai struktur Logis rasionalitas (LSR-Searle), perilaku (LSB), kepribadian (LSP), realitas (LSOR), dari Intensionality (LSI)-istilah filosofis klasik, psikologi deskriptif kesadaran (DPC) , yang deskriptif psikologi pemikiran (DPT)-atau lebih baik, bahasa deskriptif psikologi pemikiran (LDPT), istilah yang diperkenalkan di sini dan dalam tulisan saya yang lain sangat baru-baru ini. -/- Mereka yang ingin komprehensif up to date kerangka perilaku manusia dari dua systEMS tampilan modern dapat berkonsultasi buku saya 'struktur Logis filsafat, psikologi, mind dan bahasa dalam Ludwig wittgenstein dan John Searle ' 2nd Ed (2019). Mereka yang tertarik pada tulisan saya lebih mungkin melihat 'berbicara monyet--filsafat, psikologi, ilmu pengetahuan, agama dan politik di planet yang ditakdirkan--artikel dan review 2006-2019 3rd ed (2019) dan bunuh diri utopian delusi di 21st Century 4th Ed (2019). (shrink)

Sebelum berkomentar secara rinci tentang making dunia sosial (MSW) saya akan pertama kali menawarkan beberapa komentar tentang filsafat (psikologi deskriptif) dan hubungannya dengan penelitian psikologis kontemporer seperti yang dicontohkan dalam karya Searle (S) dan Wittgenstein (W), karena saya merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk menempatkan Searle atau komentator pada perilaku, dalam perspektif yang tepat. Ini akan sangat membantu untuk melihat ulasan saya PNC, TLP, PI, OC, TARW dan buku-buku lain oleh dua jenius ini deskriptif psikologi. -/- S tidak merujuk (...) kepada W prescient pernyataan pikiran sebagai mekanisme di TLP, dan kehancuran itu dalam karyanya kemudian. Sejak W, S telah menjadi utama dekonstruktor pandangan mekanik ini perilaku, dan deskriptif yang paling penting psikolog (filsuf), tetapi tidak menyadari betapa benar-sama W diantisipasi dia maupun, oleh dan besar, melakukan orang lain (tetapi melihat banyak makalah dan buku dari dari dari membanggakan dan Copeland di W, Turing dan AI). S pekerjaan jauh lebih mudah untuk mengikuti dari W, dan meskipun ada beberapa jargon, itu sebagian besar spektakuler jelas jika Anda mendekati dari arah yang benar. Lihat ulasan saya untuk W S dan buku lainnya untuk lebih jelasnya. -/- Secara keseluruhan, MSW adalah ringkasan yang baik dari banyak kemajuan besar atas Wittgenstein yang dihasilkan dari setengah abad S bekerja, tetapi dalam pandangan saya, W masih adalah tiada banding untuk psikologi dasar setelah Anda memahami apa yang dia katakan (Lihat ulasan saya). Idealnya, mereka harus dibaca bersama-sama: Searle untuk CLEAR koheren prosa dan generalisasi pada operasi S2/S3, diilustrasikan dengan contoh W perspiculet operasi S1/S2, dan brilian aphorisms. Jika saya masih jauh lebih muda saya akan menulis buku melakukan hal itu. -/- Mereka yang ingin komprehensif up to date kerangka perilaku manusia dari dua systEMS tampilan modern dapat berkonsultasi buku saya 'struktur Logis filsafat, psikologi, mind dan bahasa dalam Ludwig wittgenstein dan John Searle ' 2nd Ed (2019). Mereka yang tertarik pada tulisan saya lebih mungkin melihat 'berbicara monyet--filsafat, psikologi, ilmu, agama dan politik di planet yang ditakdirkan--artikel dan review 2006-2019 3rd ed (2019) dan bunuh diri utopian delusi di 21st Century 4th Ed (2019) . (shrink)

Sebelum mengomentari buku ini, saya menawarkan komentar tentang Wittgenstein dan Searle dan struktur Logis rasionalitas. Esai di sini sebagian besar sudah diterbitkan selama dekade terakhir (meskipun beberapa telah diperbarui), bersama dengan satu item yang tidak diterbitkan, dan tidak ada di sini akan datang sebagai kejutan bagi mereka yang telah terus dengan karyanya. Seperti W, ia dianggap sebagai filsuf Standup terbaik pada waktunya dan karya tulis yang solid sebagai batu dan terobosan di seluruh. Namun, kegagalannya untuk mengambil W kemudian cukup serius (...) mengarah ke beberapa kesalahan dan kebingungan. Hanya beberapa contoh: pada P7 ia dua kali mencatat bahwa kepastian kita tentang fakta dasar adalah karena berat alasan yang luar biasa mendukung klaim kita, tapi W menunjukkan definitif dalam ' pada kepastian ' bahwa tidak ada kemungkinan meragukan benar-satu-satunya struktur aksiomatik sistem kita 1 persepsi, kenangan dan pikiran, karena itu sendiri dasar untuk penghakiman dan tidak bisa sendiri dihakimi. Dalam kalimat pertama di P8 dia mengatakan kepada kita bahwa kepastian adalah revisable, tapi semacam ini ' kepastian ', yang kita sebut Certainty2, adalah hasil dari memperluas aksiomatik dan nonrevisable kami kepastian (Certainty1) melalui pengalaman dan sangat berbeda karena proposisional (benar atau salah). Ini tentu saja merupakan contoh klasik dari "pertempuran melawan kebingungan kecerdasan kita dengan bahasa" yang W menunjukkan berulang-ulang. Satu kata-dua (atau banyak) kegunaan yang berbeda. -/- Nya bab terakhir "The kesatuan proposisi" (sebelumnya belum diterbitkan) juga akan mendapatkan keuntungan besar dari membaca W "pada kepastian" atau DMS dua buku tentang OC (Lihat ulasan saya) karena mereka membuat jelas perbedaan antara benar hanya kalimat yang menggambarkan S1 dan benar atau salah proposisi menggambarkan S2. Pemogokan ini saya sebagai pendekatan yang jauh lebih unggul untuk S mengambil persepsi S1 sebagai proposisional karena mereka hanya menjadi T atau F setelah satu mulai berpikir tentang mereka di S2. Namun, titik yang proposisi pernyataan izin aktual atau potensi kebenaran dan kepalsuan, masa lalu dan masa depan dan fantasi, dan dengan demikian memberikan muka yang besar atas pra atau protolinguistic masyarakat, adalah meyakinkan. Ketika ia menyatakan itu "proposisi adalah apa-apa yang dapat menentukan kondisi kepuasan... dan kondisi kepuasan... adalah bahwa hal itu dan semacamnya. " Atau, salah satu kebutuhan untuk menambahkan, yang mungkin atau mungkin telah atau mungkin dibayangkan menjadi kasus. -/- Secara keseluruhan, PNC adalah ringkasan yang baik dari banyak kemajuan yang substansial atas Wittgenstein dihasilkan dari setengah abad S bekerja, tetapi dalam pandangan saya, W masih adalah tak tertandingi setelah Anda memahami apa yang dia katakan. Idealnya, mereka harus dibaca bersama-sama: Searle untuk CLEAR koheren prosa dan generalisasi, diilustrasikan dengan contoh yang perpedas W dan brilian aphorisms. Jika saya masih jauh lebih muda saya akan menulis buku melakukan hal itu. -/- Mereka yang ingin komprehensif up to date kerangka perilaku manusia dari dua systEMS tampilan modern dapat berkonsultasi buku saya 'struktur Logis filsafat, psikologi, mind dan bahasa dalam Ludwig wittgenstein dan John Searle ' 2nd Ed (2019). Mereka yang tertarik pada tulisan saya lebih mungkin melihat 'berbicara monyet--filsafat, psikologi, ilmu pengetahuan, agama dan politik di planet yang ditakdirkan--artikel dan review 2006-2019 3rd ed (2019) dan bunuh diri utopian delusi di 21st Century 4th Ed (2019). (shrink)

Aku mulai dengan beberapa komentar terkenal oleh filsuf (psikolog) Ludwig Wittgenstein karena Pinker saham dengan kebanyakan orang (karena pengaturan default psikologi bawaan kita berevolusi) prasangka tertentu tentang fungsi pikiran, dan karena Wittgenstein menawarkan wawasan yang unik dan mendalam dalam cara kerja bahasa, pemikiran dan realitas (yang ia dipandang sebagai lebih atau kurang coekstensif) tidak ditemukan di tempat lain. TheRe adalah hanya referensi untuk Wittgenstein dalam volume ini, yang paling disayangkan mengingat bahwa ia adalah yang paling brilian dan asli analis bahasa. (...) -/- Dalam bab terakhir, menggunakan metafora terkenal dari gua Plato, ia dengan indah meringkas buku dengan gambaran tentang bagaimana pikiran (bahasa, berpikir, psikologi disengaja)-produk keegoisan buta, dimoderasi hanya sedikit oleh altruisme otomatis untuk kerabat dekat membawa salinan gen kita (inklusif Fitness)--bekerja secara otomatis, tetapi mencoba untuk mengakhiri pada catatan optimis dengan memberi kita harapan bahwa kita tetap dapat menggunakan kemampuan yang luas untuk bekerja sama dan membuat dunia menjadi tempat yang layak untuk hidup. -/- Pinker tentu sadar tetapi mengatakan sedikit tentang fakta bahwa jauh lebih banyak tentang psikologi kita ditinggalkan daripada yang disertakan. Di antara jendela ke dalam sifat manusia yang ditinggalkan atau diberi perhatian minimal adalah matematika dan geometri, musik dan suara, Gambar, peristiwa dan kausalitas, Ontologi (kelas hal atau apa yang kita tahu), sebagian besar Epistemologi (bagaimana kita tahu), disposisi (percaya, berpikir, menilai, berniat dll) dan sisanya psikologi disengaja tindakan, neurotransmiter dan entheogens, negara spiritual (misalnya, Satori dan pencerahan, otak stimulasi dan perekaman, kerusakan otak dan perilaku defisit dan gangguan, permainan dan olahraga, teori keputusan (termasuk. teori permainan dan perilaku ekonomi), perilaku hewan (sangat sedikit bahasa tetapi satu miliar tahun genetika bersama). Banyak buku telah ditulis tentang masing-masing bidang psikologi disengaja. Data dalam buku ini adalah deskripsi, bukan penjelasan yang menunjukkan mengapa otak kita melakukannya dengan cara ini atau bagaimana hal itu dilakukan. Bagaimana kita tahu untuk menggunakan kalimat dalam berbagai cara mereka (yaitu, tahu semua makna)? Ini adalah psikologi evolusi yang beroperasi pada tingkat yang lebih mendasar-tingkat di mana Wittgenstein paling aktif. Dan ada perhatian yang sangat minim pada konteks kata mana yang digunakan = sebuah arena yang dirintis Wittgenstein. -/- Namun demikian, ini adalah karya klasik dan dengan memperingatkan ini masih layak dibaca. -/- Mereka yang ingin komprehensif up to date kerangka perilaku manusia dari dua systEMS tampilan modern dapat berkonsultasi buku saya 'struktur Logis filsafat, psikologi, mind dan bahasa dalam Ludwig wittgenstein dan John Searle ' 2nd Ed (2019). Mereka yang tertarik pada tulisan saya lebih mungkin melihat 'berbicara monyet--filsafat, psikologi, ilmu, agama dan politik di planet yang ditakdirkan--artikel dan review 2006-2019 3rd ed (2019) dan bunuh diri utopian delusi di 21st Century 4th Ed (2019) . (shrink)

Ini adalah review yang sangat baik gen/lingkungan interaksi pada perilaku dan, meskipun menjadi sedikit tanggal, adalah mudah dan bermanfaat dibaca. Mereka mulai dengan kembar studi yang menunjukkan dampak luar biasa genetika pada perilaku. Mereka mencatat semakin terkenal studi Judith Harris yang memperluas dan meringkas fakta bahwa lingkungan rumah bersama hampir tidak berpengaruh pada perilaku dan bahwa anak angkat tumbuh menjadi berbeda dari stepbrothers dan saudari mereka sebagai orang yang dipilih secara acak. Salah satu titik dasar bahwa mereka (dan hampir semua (...) orang yang membahas genetika perilaku) gagal untuk dicatat adalah bahwa ratusan (ribuan tergantung pada sudut pandang Anda) dari univeryang perilaku manusia, termasuk semua dasar dari kepribadian kita, adalah 100% ditentukan oleh gen kita, dengan tidak ada variasi dalam normals. Semua orang melihat pohon sebagai pohon dan bukan batu, mencari dan makan makanan, menjadi marah dan cemburu dll. Jadi, apa yang kebanyakan mereka bicarakan di sini adalah berapa banyak lingkungan (budaya) dapat mempengaruhi tingkat yang berbagai sifat ditampilkan, daripada penampilan mereka. -/- Akhirnya, mereka mendiskusikan egenetika dalam cara politik yang benar biasa, gagal untuk dicatat bahwa kita dan semua organisme adalah produk dari egenetika alam dan bahwa upaya untuk mengalahkan seleksi alam dengan obat-obatan, pertanian, dan peradaban secara keseluruhan, adalah bencana bagi setiap masyarakat yang tetap dalam melakukan hal ini. Sebanyak 50% dari semua konsepsi, atau beberapa 100 juta/tahun, berakhir di awal aborsi spontan, hampir semua tanpa ibu yang sadar. Pemusnahan alami ini gen yang rusak mendorong evolusi, membuat kita relatif suara genetik dan membuat masyarakat mungkin. Dysgenics cukup untuk menghancurkan peradaban tetapi kelebihan penduduk akan do pertama. -/- Mereka yang berharap komprehensif up to date kerangka perilaku manusia dari dua systEMS Lihat modern dapat berkonsultasi buku saya 'struktur Logis filsafat, psikologi, mind dan bahasa di Ludwig Wittgenstein dan John Searle ' 2nd Ed (2019). Mereka yang tertarik pada tulisan saya lebih mungkin melihat 'berbicara monyet--filsafat, psikologi, ilmu, agama dan politik di planet Doomed--artikel dan ulasan 2006-2017' 3Rd Ed (2019). (shrink)

Metaphor has often been seen as tightly associated with both aesthetics and cognition, as well as with other aesthetic and cognitive phenomena such as imagination, symbol, allegory, analogy and simile. This article offers a theory of metaphor that accounts for such aesthetic and cognitive associations. The theory is based on a suitably interpreted version of a tool originally developed in an epistemic context, viz. Floridi and Sanders’ method of abstraction.

Metamorphosis seems problematic for our occidental point of view. Becoming in general is viewed as an error or exception by our classic standpoint. In fact, it is strongly against identity and law of non-contradiction: A is fundamentally something different from B and for A it is impossible to be at the same time B. We need to think A as what-becomes-B in order to make metamorphosis possible. Anyway, how can A become B? As a matter of fact, this very claim (...) has been historically the most common critic opposed to becoming. Deleuze and Guattari in their monumental work had tried to offer an enormous contribution to a few related problems. Redefining the subject as an event described by movement and affect can exceed the metamorphosis’ aporia. This new principle of individuation provides a new look upon arisen questions primarily because affects and movements are constant coordinates that define how metamorphosis is experienced. The paper tries to show how the betweenness in action in the encounter with people, human beings, things, animals, plants and minerals defines the logic field of metamorphosis. This is shown in dialogue with the ontological turn in anthropology that is particularly focused on this affective and lively dimension of encounter especially among Amazonian populations. Actually this is also what happens in our – occidental and classical but live – relation with things and objects, as long as we try to think a real conceptualisation of experience. (shrink)

Through Heidegger’s re-reading of Descartes, this article explores a fundamental issue in the contemporary conception of worldliness. In a restricted sense, the human being is the maker of the world in that he appropriates what composes it, i.e., the worldly beings or things. Greatly influenced by the Cartesian notion of extensio, this tendency no longer entails the world as a thing in itself, but as a set of measurable things, thus available and open to activity. This article articulates the threat (...) relative to the idea of the forming, by the human being, of the essence of the world. Every being, be it an object, an animal or even a human being, seems to be considered as a producer of energy and a structure that could be possessed. For example, such natural space is not campaign or land, but automatically field, that is to say, an agricultural deposit that is symbolically exploited and empirically exploitable. This ontological device prevents us from grasping the world in any other way than in terms of use and productivity. As a result, the ontology of the thing becomes an aesthetic issue in its own right. This issue does not involve here the capture of the object as a bearer of Beauty, but an aesthetic relation in the fundamentally etymological sense (αἰσθητικός) of what is felt, of what is sensible and perceptible. The need for an aesthetic rereading of the world and the things that stand in it presupposes, therefore, the evolution of the human gaze and a metaphysical approach to worldliness, detached from the instrumentalization of the beings and focused on their presence or their proximity. This article aims at demonstrating the necessity of a real human aesthetic responsibility, which can be concretized in the metaphysical thought of the thing that the human being unfolds, by considering it as the persistence in the world of an object whose ontological disposition could never be neutral. (shrink)

Beginning with the work of Olafur Eliasson, with particular reference to the recent exhibition “Trembling Horizons” but not limited to it, a number of works representative of an artistic vision that might be called eco-logical are analyzed. Not only by explicitly thematizing the issue of the environmental crisis, Eliasson's works seem to materially express the demands of theorists who question how art can actively respond to the need for a shift in outlook that characterizes current events. Starting from the idea (...) of art as praxis, which allows the viewer to regard himself or herself and to place himself or herself in relation to what surrounds us – human and non-human – Eliasson's works act on the intrinsic objecthood of the work itself by creating a relationship with otherness and datity. They generate, therefore, a feeling of proximity, which concretizes a meaning of creativity in a transformative and site-specific sense; they promote an eco-logic that has its basis in a nomadic and depotentiated vision of subjectivity, engendering a feeling of interconnectedness and care. It will be argued in this paper the need to rethink art in these terms by hypothesizing a particular efficacy of some works that actively work in public space: places where the split between nature and culture has taken place, urban and public space are privileged contexts to actively promote the overcoming of this fracture and generate ethically responsible, already intrinsically ecological subjects. (shrink)

The purpose of this essay is to advocate the ideas of Wilhelm Worringer, John Dewey, and Nelson Goodman on the roles of perception, empathy, emotion, and enjoyment in aesthetic experience. I will attempt to do this by offering a novel interpretation of some of these thinkers’ insights from a biological perspective. To this end, I will consider the following questions. What is an aesthetic experience? Does such a thing exist at all? If yes, is there a correlation between the concept (...) of the aesthetic and perception? Is it possible, then, to find a biological basis for aesthetic experience? My argument is that a fresh analysis of the aesthetics of Worringer, Dewey, and Goodman, in light of some of the discoveries and theories of the cognitive neurosciences – such as the biological correlations of emotions, the “as-if-body-loop” theory, the discovery of mirror neurons, and the phenomenon of embodied simulation – may provide a contribution to longstanding philosophical problems relating to the nature of aesthetic experience. (shrink)

This age is characterized by the increasing humanization of a planet more and more subject to representation, visualization and prediction. The future, however, seems to herald the emergence of forces indifferent to this historical process. Our present is thus the time of this contradiction, as new forces affect all strata of our lives like a diffuse but deep trauma. Giovanbattista Tusa's text calls for a georealism that takes into account this time, a new form of planetary realism that assumes that (...) our time is emptied of all representable content and thus open to its own infinity, open to the encounter with what is not given, either as horizon or as memory. (shrink)